Keluarga Kaya

Saat krisis ekonomi , diperkirakan 15 juta orang Amerika Serikat menganggur. Tetapi, keluarga yang berasal dari permukiman kumuh dan miskin, justru memanfaatkan krisis ekonomi itu dengan memulai bisnis kecil-kecilan.

Ivan Light, Profesor Sosiologi University of California, mengatakan, resesi ekonomi itu menyebabkan begitu banyak pengusaha yang gulung tikar. Mereka yang tak mampu berinovasi akan bangkrut. Keadaan berbeda dialami industri kecil. Mereka mampu bertahan di masa-masa sulit yang menempanya.

Robert Boyd, Profesor Sosiologi dari Mississippi State University mengatakan, dalam kondisi seperti itu pilihan industri makanan menjadi pilihan umum dan banyak diminati.

Lebih dari setengah keluarga terkaya itu mulai membangun bisnis dengan terjun ke industri makanan selama Great Depression mulai ada. Hasil kerja keras mereka begitu manis, saat ini jumlah gabungan kekayaan mereka mencapai US$24,3 miliar.

"Selama Great Depression, beberapa pengusaha yang mampu bertahan hidup di perkotaan adalah dengan membuka toko kelontong kecil di rumah mereka sendiri atau di halaman depan toko-toko yang ditinggalkan pemiliknya," ujar Boyd.

"Pengusaha ini membeli makanan yang tidak mudah busuk, karena jika dagangan mereka tidak habis terjual, setidaknya mereka dan anggota keluarga mereka bisa hidup dari persediaan yang tidak terjual, sehingga terhindar dari kelaparan," ungkapnya.

George Jenkins salah satunya. Dia keluar dari pekerjaan tetapnya di pusat perbelanjaan Piggly Wiggly, saat atasannya tidak memberinya upah. Padahal, dia sudah bekerja mengemudi selama 8 jam.

Mundur dari pekerjaan tetapnya, lalu dia mulai membuka Publix Super Markets pada 1930. Jerih payahnya terbayar, saat ini dia mempunyai 1.000 jaringan toko di seluruh AS bagian tenggara dengan penjualan mencapai US$29 miliar, yang memperkuat jumlah kekayaan keluarganya menjadi US$5,2 miliar.

Keluarga McKee, keluarga yang selamat dari Great Depression juga memiliki cerita yang sama. Dia dan istrinya, Ruth McKee menjual kepemilikan saham di Whippet, produsen mobil pada 1928.

Kemudian, pada 1934, mereka membeli perusahaan roti di Chattanooga, Tenn. Keluarga McKee memulai bisnis pembuatan roti dan dengan varian yang paling terkenal Little Debbie cream pies. Keturunannya sekarang masih menjalankan usaha pembuatan roti pada perusahaannya senilai US$1,4 miliar.

Keluarga E.&J. Gallo Winery juga memulai usaha pembuataan anggur pada 1933. Saat itu, dia mampu bertahan dari krisis ekonomi dengan menguras habis persediaan anggur di gudangnya. Produk anggur mereka begitu populer pada waktu itu, karena menjual 50 sen per galon, atau setengah harga dari harga anggur di pasaran.

Nyatanya, keluarga Gallo saat ini memiliki total kekayaan US$9,7 miliar dan menjadi produsen anggur terbesar di dunia.

Pemasok McDonalds

Lain lagi dengan keluarga J.R Simplot. Keluarga ini membeli lahan pertanian kentang Idaho pada 1929 dan mengerjakan sendiri pertaniannya.

Saat panen kentang tiba, dia tidak bertujuan menjual seluruhnya, melainkan yang utama untuk mencukupi kebutuhan pangan keluarganya, sisanya baru dia jual ke pasar.

Dia memang seorang yang kreatif. Dikenal sebagai Bapak Kentang Goreng Beku. Dia menemukan proses pembekuan pada kentang goreng yang siap olah. Perusahaan ini memasok sepertiga dari produksinya ke McDonalds.

Simplot meninggal dunia pada 2008 dengan jumlah kekayaan senilai US$8 miliar. Kini keturunannya yang melanjutkan usahanya tersebut.

Tiga taipan lainnya yang berasal dari bisnis kecil pada krisis ekonomi ini yakni Hesses, keluarga yang menggeluti bisnis minyak; Boyles, ritel Columbia Sportswear; dan Sthephens Clan, yang fokus pada investasi perbankan.

Keluarga miliarder lainnya yang memulai bisnis saat Great Depression dan selamat yakni John Willard Marriott. Awalnya, bisnis ini terjebak dalam sistem waralaba. Perusahaan ini bertahan di bisnis makanan hingga melebarkan sayapnya ke bisnis perhotelan pada 1975, dengan merek, Marriott International.

Sekarang, mereka juga memiliki waralaba hotel khusus kelas menengah ke atas Ritz-Carlton dan Renaissance. Bisnis perhotelan tersebut diperkirakan telah menambah jumlah kekayaannya menjadi US$5,7 miliar. (art)


Beberapa perusahaan melihat resesi sebagai ancaman. Ini terjadi di banyak perusahaan sehingga mereka meresponnya dengan memangkas anggaran atau melakukan penghematan. Sementara itu banyak juga perusahaan yang melihat resesi sebagai peluang. Mereka memperkuat bisnisnya, berinvestasi secara agresif dan berambisi menyalip pesaing mereka yang lebih lemah.

Sebagai contoh, merek rokok Camel dan mobil Chevrolet berhasil merebut posisi pasar dari pesaing mereka melalui kampanye pemasaran yang agresif selama Depresi Besar di Amerika Serikat pada tahun 1930-an. Procter and Gamble (P&G) juga tercatat sebagai perusahaan yang tidak memangkas pengeluarannya selama periode resesi. Saat itu, P&G banyak mempromosikan beberapa merek terkenal semisalnya, Camay, Ivory, dan Crisco.

Perusahaan lain, seperti Saturnus — Divisi GM — dan Intel Corporation juga banyak berinvestasi selama resesi 1990-1991 untuk meningkatkan posisi daya saing mereka. Intel misalnya, meluncurkan kampanye “Intel Inside” untuk membangun merek, dan secara agresif mempromosikan merek Intel pada saat pesaingnya memperkecil anggaran iklannya. Demikian juga, DeBeers yang agresif meluncurkan kampanye pemasaran “Shadows” secara global selama resesi 1989-1990.

Merek lainnya, Renault agresif memperkenalkan merek Clio dengan harga tertinggi kedua dalam kategorinya. Saat resesi makin dalam, Barclaycard menginisiasi merek dengan cara mere-launch secara agresif mereknya dengan tujuan meningkatkan pangsa pasarnya melalui akuisisi. Selain merek-merek tersebut, merek atau perusahaann lainnya seperti BMW, Cisco, Dell, dan, Wal-Mart juga melihat resesi sebagai kesempatan. Mereka berinvestasi secara agresif dengan harapan dapat menangkap posisi pasar pada saat pesaing mereka melemah.

Studi yang dilakukan McGraw-Hill Research’s Laboratory of Advertising Performance terhadap 600 perusahaaan di AS menyebutkan bahwa selama resesi 1980-1985, perusahaan-perusahaan yang mempertahankan atau meningkatkan belanja iklannya selama resesi 1981-1982 memiliki rata-rata pertumbuhan penjualan secara signifikan yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan yang tidak beriklan. Itu terjadi selama kemerosotan ekonomi dan tiga tahun berikutnya. Demikian pula, selama resesi 2001, perusahaan yang mempertahankan atau meningkatkan kampanye pemasarannya, pangsa pasar meningkat dua kali saat resesi berlalu.

Dari fenomena tersebut dapat dikatakan bahwa pada dasarnya pada proaktif marketing dapat menyelamatkan atau bahkan meningkatkan kinerja perusahaan atau merek pada terjadi kelesuan ekonomi.

Perusahaan proaktif adalah perusahaan yang secara kreatif mengambil langkah strategis yang diperlukan untuk memanfaatkan situasi kelesuan ekonomi. Dalam konteks ini, perusahaan dengan cepat memodifikasi rencana pemasarannya disesuaikan dengan perubahan lingkungan yang terjadi. Jadi pemasaran proaktif dapat dilihat sebagai manifestasi dari kemampuan yang dinamis dimana perusahaan memanfaatkan sumber daya internal dan kemampuan (rencana pemasaran dan investasi) dan kendala eksternalnya (resesi) untuk mengatasi perubahan di pasar.

Pemasaran proaktif dapat dilihat sebagai perilaku memutarbalikkan kondisi luar – dalam batasan tertentu — dan memanfaatkan perubahan ini untuk keuntungan dengan berinvestasi dalam pemasaran. Dalam kaitan itu, sangat penting bagi perusahaan untuk memahami bahwa pelanggan potensial merespon secara berbeda selama masa resesi. Mereka menjadi lebih diskriminatif dalam keputusan pembelian mereka dan lebih responsif terhadap berbagai jenis pesan.
Disini pengiklan tidak boleh berasumsi bahwa audiens yang sama akan merespon sama untuk setiap pesan atau komunikasinya. Selama resesi, pelanggan baru mungkin datang dari tempat yang berbeda dari sebelumnya. Prospek yang dulunya non-responsif bisa menjadi responsif, dan pelanggan setia pesaing Anda mungkin memberikan perhatian lebih pada merek Anda karena pesan dan komunikasi yang Anda lakukan tepat.

Saat kelesuan ekonomi nasional 2008 lalu, rentang sosialisasi kenaikan bahan bakar minyak (BBM) yang kelewat panjang, krisis minyak berikut pangan yang melanda setiap belahan dunia, membuat P&G harus menyikapinya secara jeli. Sebetulnya, sebelum pemerintah Indonesia mengumumkan kenaikan BBM pada 23 Mei 2008, menurut External Communication Director P&G Indonesia (saat itu) Bambang Sumaryanto, dampak krisis 2008 sudah dirasakan. Salah satunya, dengan terjadinya penurunan daya beli konsumen.

Bagi P&G, jurus terpenting dalam menjawab krisis kali ini adalah mempelajari setiap perilaku konsumen beserta perubahannya. Sejatinya, mempelajari perilaku konsumen—yang disebut Bambang sebagai boss—selalu dilakukan, pada saat ada atau tidak ada krisis. Maklum saja, selama ini P&G dikenal dengan produk premium dengan harga yang tidak semurah produk lainnya.
Oleh karena itu, upaya untuk membuat produk yang lebih terjangkau konsumen adalah misi utama P&G. ”CEO P&G yang sekarang sudah punya strategi baru sejak tahun 2000. Salah satu strateginya adalah bagaimana membuat produk yang affordable, yang bisa dibeli oleh masyarakat Asia, khususnya negara Asia yang sedang berkembang,” jelas Bambang.

Tahun lalu, umpamanya, P&G melempar paket Rejoice Family. Kemasan sachet yang terdiri dari empat buah itu dibandrol dengan harga Rp 1.000. Padahal, harga normalnya mencapai Rp 2.000 atau Rp 500 per sachet. Dilemparnya Rejoice Family tak lepas dari riset perilaku konsumen yang rutin digelar P&G. Melalui penyigian tersebut, dijumpai fakta bahwa anggota keluarga, terutama anak-anak, kerap boros dalam menggunakan shampo kemasan botol. Buntutnya, P&G pun melempar paket Rejoice Family.

Tak terkecuali merek Olay. Sejak dilempar ke pasar, Olay sudah muncul dengan dua varian, Olay Total Effect yang menyasar menengah atas dengan harga Rp 100 ribuan dan Olay Total White yang membidik pasar menengah bawah dengan harga Rp 10 ribuan.
Diakui Bambang, perubahan besar yang dilakukan dalam tubuh P&G, yakni regionalisasi resources, juga merupakan bagian dari efesiensi. Menutup pabrik di Tanah Air dan memusatkan produksi di negara lain memang bukanlah kebijakan populis. ”Tapi, itu dilakukan karena kami ingin melakukan efesiensi yang hasilnya bisa dikembalikan lagi ke konsumen. Yaitu, dengan menurunkan harga produk kami, tanpa mengurangi kualitas,” ujar Bambang.

Selanjutnya, kemasan produk untuk distribusi di bermacam-macam negara dibuat seragam. Hal itu dilakukan guna mendukung keleluasaan pengiriman stok barang. Misalnya saja, jika stok produk di Indonesia habis, maka negara terdekat, yang misalnya masih memiliki stok bisa langsung mengirimkannya ke Tanah Air. ”Dulu, waktu kemasan produk setiap negara beda, kami tidak mungkin melakukan itu,” lanjutnya.

Dikatakan Bambang, melakukan efesiensi lewat suplay chain management yang baik—sehingga tidak terjadi stok menganggur di distributor maupun toko—merupakan jurus jitu kedua dalam menyikapi krisis. Sebab, barang yang menumpuk di distributor ataupun pedagang tentu ada cost-nya—yang notabene kerap dibebankan ke konsumen.

Langkah ketiga adalah fokus pada negara, wilayah, dan merek yang dianggap berpotensi. Dari survei yang telah dilakukan, urai Bambang, ada kategori produk yang berpotensi untuk ditumbuhkan. Contohnya, kategori kesehatan, seperti sikat gigi yang sudah pasti terkena krisis. Konsumen yang biasanya mengganti sikat gigi dua bulan sekali, boleh jadi akan menggantinya tiga bulan sekali. Sementara itu, fakta di rural yang dijumpai, satu sikat gigi biasanya dipakai oleh satu keluarga. ”Kalau pasar tersebut diberikan penyuluhan kesehatan bahwa satu sikat gigi seharusnya digunakan untuk satu orang, maka pasar sikat gigi di rural akan bertumbuh,” ungkap Bambang, yang mengaku bahwa growth P&G sejauh ini masih positif dengan angka dua digit.

Bambang mengingatkan, pemasar jangan melulu konsentrasi di area urban. Lantaran, masih banyak peluang pasar yang bisa digarap di daerah rural. ”Keindahan Indonesia adalah tidak semua daerah terkena krisis. Misalnya di daerah perkebunan kelapa sawit, ekonominya masih bertumbuh. Itu sebabnya, maping kategori produk dan wilayah mana yang berpeluang untuk digarap, menjadi sangat penting,” terangnya.

Jurus terakhir adalah memangkas biaya promotion mix yang sejatinya tidak diperlukan. Kehati-hatian P&G dalam menggelar promotion mix sudah lama dilakukan. Bambang beralasan, promosi yang tidak efektif, ujungnya harus dibayar semuanya oleh konsumen. Bahkan, kebiasaan promosi yang heavy, akan mempersulit pemasar dalam menguranginya di masa krisis seperti ini.

Sejak empat tahun lalu umpamanya, P&G sudah aktif dengan BTL demi memperkuat aktivitas ATL. Misalnya, melibatkan bintang iklan produk-produk P&G dalam rangkaian BTL-nya. Sebutlah Audy, bintang Olay, yang turut berjualan di pasar. Darius, bintang iklan Gillette, yang ikut mengunjungi pasar becek. ”Dengan program seperti itu, kami mampu menarik perhatian shopper. Biasanya, setelah itu, sales di toko tersebut langsung meningkat,” tegas Bambang, yang kerap melakukan kerja sama dengan para pedagang lantaran yang tahu betul kebiasaan konsumen dalam membeli adalah pedagang.


Beberapa hari terakhir ini, saya selalu memikirkan mengenai brand, brand dan brand. Seperti bagaimana cara melakukan strategi branding yang baik secara online maupun offline, bagaimana cara membangun strategi branding yang efisien namun tepat sasaran.
strategi branding
berikut merupakan beberapa tips yang mungkin bisa dilakukan dalam mengoptimalkan strategi branding :
1) Relevansi
Selalu memiliki arah relevan dengan trend yang terjadi di industri dimana brand kita berada, selalu mengikuti perkembangan dan bahkan mempersiapkan dengan segala kemungkinan trend yang akan terjadi.
Saya ambil contoh dengan industri restoran dan kafe, saat ini trend menggunakan media sosial seperti Instagram merupakan salah satu media yang “break out” digunakan oleh brand-brand restoran dan kafe untuk menjaring pelanggan baru atau mempertahankan pelanggan yang sudah ada. Untuk brand yang tetap menggunakan jalur pemasaran konvensional yang menghiraukan potensi media sosial bisa saja tertinggal jauh dibelakang para kompetitornya yang telah lebih dulu menggunakan media sosial sebagai tools marketing mereka.
2) Orientasi kepada solusi
Salah satu yang terkait kepada hal ini adalah “customer oriented” , yang merupakan kebalikan dari “profit oriented” . Berorientasi kepada solusi yang dibutuhkan oleh konsumen merupakan salah satu turunan dari “customer oriented”. Hal tersebut merupakan salah satu landasan terkuat untuk bagaimana membangun loyal customer base, yang akan berujung kepada strategi branding yang optimal.
3) Mudah di Akses
Bagaimana caranya agar konsumen dapat dengan mudah mengetahui keberadaan brand kita? saya ambil contoh dengan meningkatnya penggunaan perangkat mobile dibandingkan dengan desktop/laptop untuk melakukan browsing secara online selama beberapa tahun kebelakang.
Hal tersebut tentu akan berpengaruh terhadap brand-brand yang sudah mempersiapkan lebih dulu website miliknya agar dapat dengan mudah diakses oleh konsumen saat mereka menggunakan perangkat mobile.
4) Transparansi
Saat ini merupakan era transparansi antara perusahaan dengan para pelanggannya, terutama didukung dengan penggunaan media sosial yang menjadi alat sebagai penghubung antara konsumen dengan perusahaan. Hal tersebut terkait dengan transparansi dalam kualitas pelayanan, produkatau jasa yang dijual hingga permasalahan-permasalahan yang sedang dialami.
Dengan adanya transparansi, hal tersebut akan menumbuhkan kepercayaan konsumen yang secara tidak langsung akan mengoptimalkan branding.
5) Berkualitas
Apabila barang atau jasa yang kita tawarkan kepada pelanggan tidak memiliki fitur sebaik kompetitor kita namun kita memiliki pelayanan customer support yang lebih baik dibandingkan kompetitor, tentunya hal tersebut akan menjadi nilai positip yang juga akan meningkatkan brand secara optimal.